skip to Main Content
Kegiatan Bersawah Di Desa Saja Sudah Jadi Daya Tarik Bagi Wisatawan (Ahmad Masaul Khoiri/detikTravel)

Jadilah Desa Wisata, Agar Tidak Ada Urbanisasi ke Kota

Jakarta – Desa wisata bukanlah hanya membentuk suatu desa menjadi destinasi wisata. Ada nilai lebih, khususnya agar orang-orang desa tidak pindah ke kota.
“Kalau suatu desa menjadi desa wisata, saya jamin nggak ada urbanisasi besar-besaran ke kota,” kata Ketua Tim Percepatan Pembangunan Pariwisata Pedesaan dan Perkotaan Kementerian Pariwisata, Vitria Ariani kepada detikTravel baru-baru ini di Lantai 12 Gedung Sapta Pesona, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Wanita yang akrab disapa Ria itu menjelaskan, gerakan besar-besaran desa wisata di Indonesia dimulai pada 2014 silam. Saat itu masih bertajuk PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Namun, dihapus setelah pergantian presiden.

Selanjutnya kini di bawah arahan Menteri Pariwisata Arief Yahya, hal tersebut kembali digalakkan. Dibentuklah Tim Percepatan Pembangunan Pariwisata Pedesaan dan Perkotaan, yang berfokus pada pembentukan desa wisata.
“Hal tersebut juga sesuai dengan Nawacita Presiden Jokowi, membangun Indonesia dari pinggiran,” tegas Ria.

Mengapa harus namanya menjadi desa wisata?
“Oke begini, kalau dibuat Desa Agro (desa pertanian) makan biayanya pasti besar. Belum pembelian bibit, biaya pengurusan dan waktu yang lama untuk memanen. Makanya, paling cepat dan paling murah adalah menjadi Desa Wisata,” papar wanita yang juga pendiri Binus University Cultural and Tourism Research.

Ketua Tim Percepatan Pembangunan Pariwisata Pedesaan dan Perkotaan Kementerian Pariwisata, Vitria ArianiKetua Tim Percepatan Pembangunan Pariwisata Pedesaan dan Perkotaan Kementerian Pariwisata, Vitria Ariani (dok Istimewa)

Ria menjelaskan, membuat suatu desa menjadi desa wisata bukanlah hal yang sulit. Setiap desa punya adat istiadat masing-masing dan masih menjaga kebudayaan yang orisinil. Plus, kebanyakan desa di Indonesia sudah diberkahi dengan panorama cantik.
“Misal ada orang desa yang ladangnya menghadap ke perbukitan hijau. Tinggal dibenahi untuk rapi lalu ditambahi beberapa spot selfie, jadilah tempat foto-foto yang menarik. Wisatawan bisa datang ke sana, uang bisa masuk,” ujar Ria yang juga pendiri Binus University Cultural and Tourism Research.

Desa Wisata Kandri di Semarang, mempunyai spot foto-foto yang seru (Angling Adhitya Purbaya/detikTravel)Desa Wisata Kandri di Semarang, mempunyai spot foto-foto yang seru (Angling Adhitya Purbaya/detikTravel)

Satu lagi yang paling penting menurutnya adalah, desa sudah mempunyai suatu nilai yang bisa dikemas menjadi wisata. Nilai kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
“Saya selalu memakai prinsip see, feel and explore. Coba lihat orang kota yang datang ke desa, pasti dia akan melihat suasana yang rindang dan hijau, lalu merasakan suasana yang tenang dan udara yang sejuk. Lalu dia bisa melihat orang membajak sawah yang basah-basahan di lumpur bersama kerbau. Itulah suatu value yang bisa dikemas dan dijadikan atraksi wisata,” paparnya.
“Mungkin bagi masyarakat desa, itu semua adalah hal biasa, tapi bagi orang-orang kota itu luar biasa,” tegas Ria.

Pertunjukan budaya di desa dapat dikemas dengan menarik untuk memikat wisatawan (Shinta Angriyana/detikTravel)Pertunjukan budaya di desa dapat dikemas dengan menarik untuk memikat wisatawan (Shinta Angriyana/detikTravel)

Soal budaya, Ria berujar betapa beruntungnya Indonesia memiliki budaya yang beragam di tiap desa. Budaya yang tiada dua dan masih terjaga baik, serta jadi nilai jual untuk wisatawan.
“Contoh di Desa Wirun di Sukoharjo, kamu akan mendengar bunyi-bunyi gamelan karena masyarakatnya yang sudah dari dulu membuat gamelan. Saat membuat gamelan, mereka akan mencoba gamelan dengan membunyikannya. Saat masuk ke desanya, kamu akan mendengar suara-suara gamelan yang indah. Bayangkan, di suatu desa yang tenang yang rindang dan dihiasi suara gamelan,” papar Ria.
“Atau Desa Blimbingsar di Bali, itu merupakan desa yang mayarakatnya menganut Protestan karena di zaman dulu dikucilkan oleh orang-orang Bali. Itu ada sejarahnya dan sekarang jadi cerminan desa toleransi antar umat beragama. Sejarahnya sangat menarik,” tambahnya.
Maka Ria sekali lagi menegaskan, alangkah baiknya masyarakat desa membangun desanya sebagai destinasi wisata. Tak usah tambah macam-macam, cukup maksimalkan potensi yang ada. Selanjutnya, melakukan sadar wisata, memoles fasilitas wisata dan belajar bagaimana melayani wisatawan.
“Dengan desa wisata, masyarakatnya bisa membuat homestay, membuat paket wisata dan lain-lain. Pendapatan makin banyak yang masuk. Saya yakin kalau masyarakat desa berani membangun desa wisata dan pede, maka mereka enggan urbanisasi ke kota. Mereka akan hidup nyaman dan lebih bahagia di desanya,” tutup Ria. (aff/aff)

 

source : https://travel.detik.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top