U L O S – menyelamatkan warisan yang hampir ditinggalkan
Sejumlah motif ulos buatan tangan seperti motif “rujat” dan ulos “pinunsaan” (ulos jugia) semakin sulit didapatkan. Produksinya yang penuh dengan ritual dan lama serta pemakaiannya yang spesifik membuat harganya tak dapat bersaing melawan industri tenun modern. Regenerasi perajin pun tak berjalan karena anggapan bahwa menjadi perajin identik dengan kemiskinan.
Bagi suku Batak, ulos merupakan penyatuan diri dengan alam. Energi positif dari alam dipadu rasa cinta dan kasih sayang menghasilkan kriya yang indah dan menawan. Namun kerusakan alam, modernisasi dan pembangunan kawasan mengakibatkan semakin sulitnya penenun mendapatkan bahan baku dari alam yang sesungguhnya berkaitan dengan filisofi ulos. Nilai estetika dari proses pembuatan dan filisofi ulos digeser oleh nilai ekonomis, perkembangan teknologi, pasar modern dan pemanfaatan waktu yang optimal.
Tiga dasawarsa lalu kita masih bisa melihat suasana kesibukan partonun (petenun) dan suara mesin tenun yang menghentak di bale-bale rumah maupun di halaman. Namun kini, pemandangan itu hampir tidak dapat lagi kita saksikan tanpa memasuki pelosok-pelosok pedalaman. Hal yang sama juga terjadi di berbagai wilayah tenun di Tapanuli seperti juga diamati oleh peneliti ulos – Sandra Niessen dalam pengamatannya di buku ‘Legacy in Cloth’. Jumlah yang kita temui pun tinggal orang-orang tua yang sudah sangat ujur dengan tingkat produktivitas yang rendah. Ulos-ulos yang yang dikerjakan dari jemari partonun yang kita jumpai di pasar pun diambang kelangkaan. Sejalan dengan berkembangnya zaman motif ulos yang khas semakin langka.
Kini begitu sedikit generasi muda yang meneruskan kegiatan bertenun. Pada umumnya orang menggunakan ulos di acara adat sekadar untuk menggenapi kebutuhan adat. Ulos-ulos yang digunakan di acara-acara adat mulai 100% buatan alat tenun mesin (ATM). Tidak ada lagi sentuhan perasaan, apalagi folosofi kekerabatan yang menyelimuti pembuatan ulos tersebut. Harga jualnya juga terkalahkan oleh kain-kain buatan pabrik , meski secara kualitas tenun ulos masih lebih unggul. Harga jual yang rendah ini terkadang berpengaruh pada proses produksi ulos yang asal jadi dengan kualitas rendah. Ini akan memperburuk kondisi psikologis dunia partonun.
Penyebab lain dari kelangkaan tersebut adalah pandangan bahwa menenun identik dengan kemiskinan. Seolah tidak ada lagi kebanggaan menurunkan teknik dan proses menenun kepada generasi selanjutnya karena tidak mengikuti zaman dan kemajuan teknologi. Terkadang tidak disadari penenun dan masyarakat bahwa warisan budaya adalah pusaka yang sangat tinggi nilainya. 8Semakin berkualitas dan berinovasi dalam pembuatan griya tangan, maka akan semakin mahal pulalah nilainya.
Banyak faktor penyebab semakin langkanya tenun tradisional ini. Selain macetnya regenerasi tadi, bahan baku benang pun mahal dan sulit didapat. Modernisasi dan inovasi teknologi membuat produksi menjadi efisien. Kini tidak butuh waktu lama untuk menghasilkan sepotong ulos. Namun seiring dengan itu ‘jiwa’ dan sentuhan personal terhadap wastra tradisional ini pun raib. Daripada memproses benang dengan pewarna alam yang msmerlukan waktu panjang dan proses berbelit, penenun kini lebih mengandalkan pewarna kimia yang praktis, cepat dan murah.
Faktor lain yang meningkatkan kerawanan kelestarian warisan budaya ini adalah sifatnya yang sangat spesifik, hanya dapat digunakan khayalak tertentu pada waktu tertentu. Ulos pinunsaan (ulos jugia) misalnya, tidak dapat dipakai di sembarang orang. Hanya orang tua yang anak laki-laki dan perempuannya sudah semua berketurunan yang boleh mengenakannya. Alhasil, pembelinya terbatas sehingga menjadi ulos yang langka dan tak banyak dikenal orang.
Begitu pula Ulos Sibolang yang digunakan untuk keperluan khusus, terutama orang yang sering dirundung malang, misalnya kematian anak. Jaman dulu para orangtua sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang hamil tua dengan harapan anak yang dikandungnya lahir dengan selamat. Ulos yang disebut ‘giun niharharan’ ini tidak pernah diperdagangkan atau disimpan di ‘parmonang-monang’. Itu sebabnya orang jarang mengenal ulos berbentuk seperti kain sarung dan rumbainya tidak boleh dipotong ini. Apalagi jenis ulos ini dibuat atas pesanan langsung oleh orang yang memerlukannya, tidak sedia setiap saat.
Di masyarakat modern, teknologi adalah penunjang utama berproduksi. Akhirnya terjadilah perubahan yang ditandai dengan beragamnya modifikasi, baik oleh proses pembuatan, bahan baku dan lainnya. Ulos-ulos yang motifnya sulit mengikuti modifikasi tersebut akhirnya tidak lagi ditenun. Inilah yang sering mengakibatkan punahnya atau langkanya ulos jenis tertentu. Sesuatu yang perlu menjadi perhatian.
Sumber : KRiYA – INDONESIAN CRAFTS, Edisi Maret 2016